Batujaya: Pukau Candi Tengah Sawah

Jalan setapak beton itu membelah sawah simetris. “Ini jalan baru,”kata Ujang, lelaki muda yang jalan bersisian dengan saya. Karpet hijau hamparan padi, mengiringi langkah menuju bangunan coklat yang menyembul dari kejauhan.


Semakin dekat, baru tampak, bangunan ini ternyata sebuah candi. Bahannya dari bata merah. Mungkin inilah yang membuat sekujur bangunan tampak kecoklatan. Saat didekati, candi ini seperti berada dalam tanah. Karena pondasi candi yang berada satu meter dibawah permukaan lahan persawahan yang mengepungnya.


Candi ini dibangun di atas lapik bujur sangkar. Memiliki panjang sisi 19 meter. Bagian atas lapik, bergelombang membentuk helai bunga teratai. Sayang puncak bangunan sudah runtuh, hanya sisa-sisa susunan bata tak beraturan. Padahal disinilah--dulu--stupa menjulang. Inilah Candi Jiwa. Salah satu candi dalam komplek situs Batujaya.

Situs ini terletak di perbatasaan Desa Segaran-Kecamataan Batujaya dan Desa Telagajaya-Kecamatan Pakis Jaya, Karawang, Jawa Barat. Berlokasi, 20 km disebelah barat laut Rengasdengklok atau 43 km dari pintu tol Karawang Barat. Bisa dilaju selama 3 jam dari Jakarta berkendara.

Situs seluas 5 kilometer persegi ini, pertama kali ditemukan di tahun 1984 oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia--kini bernama Fakultas Ilmu Budaya UI. Awalnya ada kecurigaan warga setempat, soal suburnya unur-unur--bukit kecil di tengah sawah. Baru setelah diekskavasi, dari perut unur-unur ini ditemukan ribuan batang bata bangunan candi. Hingga kini masih banyak unur-unur yang terserak di persawahan Batujaya, lengkap dengan pepohonan yang tumbuh lebat di atasnya.

Sejak awal penelitian di tahun 1985 sampai 1999, ditemukan 13 situs di Desa Segaran dan 11 situs di Desa Telagajaya. Dan tak kurang dari 24 candi ditemukan. Tapi, baru 11 candi yang diteliti dan digali secara intensif.

Penemuan candi yang luasnya mencapai ratusan hektare di Provinsi Jawa Barat tersebut sekaligus menggugurkan pendapat bahwa kompleks percandian hanya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan bisa jadi, “ Batujaya merupakan kompleks percandian tertua di Pulau Jawa," kata Hasan Djafar arkeolog Universitas Indonesia. Alasannya, candi-candi itu berhubungan dengan Kerajaan Tarumanagara, yang berkuasa pada abad ke-5-7 Masehi.

Kompleks percandian Batujaya memperlihatkan ciri keagamaan yang bersifat Buddhis, seperti ditemukannya votive tablet--semacam materai--bergambar relief Buddha, fragmen prasasti terakota berisi mantram agama Buddha dengan huruf Pallawa berbahasa Sanskerta.

Saat ini ada dua candi berukuran cukup besar yang di rekonstruksi. Yakni Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Candi yang terakhir ini memiliki denah bujur sangkar, panjang sisinya 25 meter dengan ketinggian 4 meter.

Candi Blandongan memiliki undakan tangga di keempat sisinya--dibangun simetris-- dan semacam ruang lapang di bagian tengahnya. Diperkirakan ruang lapang ini dipakai untuk pertemuan atau peribadatan.








Di sekitar candi Blandongan ditemukan amulet yang menggambarkan relief Buddha. Jadi bisa disimpulkan bahwa bangunan di kompleks ini adalah bangunan candi Buddha. Penemuan Amulet dan gerabah –terutama yang dikenal sebagai Romano-Indian roulleted pouttery- berasal dari kota pelabuhan kuno Arikamedu di India Selatan, membuktikan bahwa tempat ini jadi pusat niaga. Dan sempat didatangi pelayar India, lalu meninggalkan pengaruh budayanya.

Kedua bangunan candi terbuat dari bata. Lain dengan bata biasa, bata candi ini dicampur dengan pecahan kulit kerang. Begitu pula lapisan dinding dan hiasan candi Blandongan. Terbuat dari campuran pasir, kerikil dan kulit kerang. Bahan campuran ini disebut stuko.

Selain bangunan candi dan artefak, pada bulan Juli 2005 sebuah tim kerja sama Puslitbang Arkeologi Nasional dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dari Perancis menemukan kerangka manusia yang masih utuh lengkap bersama bekal kuburnya di Unur Lempeng--masih dilokasi situs Batujaya.

Ia dikuburkan memakai gelang emas di tangan kanan sambil memegang pisau--parang--besi. Di antara dua lutut dan dan di bagian punggungnya juga terdapat senjata dari besi. Di bagian kaki dan atas kepalanya terdapat wadah tembikar. Di dekat kerangka tersebut juga ditemukan lima kerangka lain yang semuanya ditemukan bersama bekal kubur berupa tembikar. Penemuan ini begitu istimewa--tak pernah dalam sejarah arkeologi ditemukan artefak dan kerangka manusia pembuatnya--dalam satu tempat secara sangat lengkap.

Selain kerangka, di sekitar situs Batujaya juga terserak menhir--batu besar--biasanya terkait dengan penyembahan nenek moyang. "Sebagai agama prasejarah bersifat animisme-dinamisme," kata Hasan.

Tak jauh dari situs Batujaya--berjarak 20 kilometer sebelah timur--ditemukan situs Cibuaya. Situs ini bernafas Hindu, dengan banyak ditemukannya arca-arca Wisnu. Singkat kata, "Pada masa yang bersamaan dengan Kerajaan Tarumanagara, di Karawang hidup tiga agama yang berdampingan secara harmonis," kata Hasan.

Sikap terbuka masyarakat dalam menerima kedatangan agama-agama baru di Karawang juga berlangsung pada masa-masa sesudahnya. Petilasan Syekh Hasanuddin Quro di Desa Pulo Kalapa, Lemah Abang, menunjukkan penerimaan yang baik dari warga Karawang terhadap agama Islam. Syekh Hasanuddin Quro dikenal sebagai pendiri pesantren tertua di Karawang dan Jawa Barat, pada 1416.

Suasana damai juga dirasakan umat Buddha yang mendirikan Wihara Sian Jin Kupo pada 1770 dan Wihara Bio Kwan Tee Koen pada akhir abad ke-19. Begitu pula umat Nasrani yang pada 1899 mendirikan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Immanuel.

Maka tak heran, pada perayaan waisak silam, sejumlah umat Buddha menggalang duit pribadi buat membangun jalan beton yang membelah sawah. Kondisi ini memudahkan pengunjung menyambangi candi. “dulu jalannya lewat pematang,”jelas Ujang, yang juga kuncen candi.

Meski sudah dipagari dengan undang-undang cagar budaya, tetap saja situs ini tak steril ancaman. Saat mendatangi kompleks candi pekan silam, tak satu pun penjaga terlihat. Hanya pagar sepinggang yang membatasi candi dengan jalan. Yang paling ketara adalah vandalisme, berupa corat-coret tangan jahil. “Karena banyak pengunjung tak mengerti sejarah apalagi candi ini,”tukas ujang menambahkan.

Buat wisatawan seperti saya, informasi singkat soal sejarah candi jadi keniscayaan. Bagaimana bisa menikmati kemegahan peninggalan sejarah, jika tidak ada jembatan informasi yang membantu mengenalkan peninggalan sejarah bersangkutan. Dan hal yang sederhana ini bisa saja menyengat rasa kepemilikan, buat siapapun yang datang.

Parah lagi situs Cibuaya, di sana, tidak ada pagar pembatas candi. Contohnya lokasi Candi Lemah Duhur Lanang dan Wadon. Sekilas yang terlihat hanya tumpukan bata terserak. Kondisi ini membuat candi bersahabat dengan ancaman kepunahan.

Tidak hanya tangan jahil, lokasi candi yang berada dilapisan tanah kaya akan minyak bumi, menjadikan ancaman nyata. Pertamina bahkan telah melakukan survey di sekitar situs Batujaya. Setidaknya 200 ribu titik dari 15 kecamatan dan 305 desa sedang disurvei.

Dari uji seismik, Pertamina dalam waktu dekat akan melakukan pengeboran di Kecamatan Pakisjaya. Karena memang, sejak 1960-an, Pertamina telah mengeksploitasi minyak mentah Rengasdengklok di Desa Tambak Sumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.

Kini Karawang hanya dikenal sebagai salah satu titik riuh industri. Pembangunan pabrik, gudang, bangunan kantor seperti berlomba dengan putaran matahari. Tak banyak yang kenal situs Batujaya, kecuali, sejarawan, peneliti atau wisawatan minat khusus.

Buktinya, dari buku tamu, yang disodorkan ke pengunjung tiap menjejak halaman situs, terekam data, hanya 23 orang yang datang sepanjang tahun. Sungguh ironis, melihat kemegahan situs Batujaya. Padahal dulu, disinilah tapak pusat lalu lintas perniagaan internasional, sekaligus lokasi persemaian yang subur lima agama sejak abad 5 masehi.

Tinggallah Ujang sendiri, yang gesit mengantarkan pengunjung--jika diminta--itu pun dengan pengetahuan informasi yang terbatas. Selebihnya, hanya susunan batu membisu di tengah sawah.

sumber :
Cahyo Junaedy,
Wahana Arkeologi Indonesia (WARNA), http://www.warnaindonesia.com
foto : WARNA dan ANTARA

No comments:

Post a Comment

Custom Search